Tangisan yang Tak Terdengar dari Tanah Riau

Oleh: Sayed Abubakar Assegaf
Tindaktegas.com - Riau hari ini, kita tak mendengar tepuk tangan. Yang terdengar justru adalah tangisan yang tertahan suara lirih dari rakyat kecil yang terlalu pelan untuk menembus tembok kekuasaan.
Seratus hari sudah berlalu sejak Gubernur Abdul Wahid dilantik. Seratus hari yang mestinya menjadi nafas baru bagi rakyat yang berharap. Namun apa yang hadir justru kebisingan pencitraan, bukan kehadiran yang menyentuh hidup orang banyak.
Di rumah-rumah kecil yang suram, para ibu menahan tangis. Mereka menyembunyikan air mata agar tak terlihat oleh anak-anak yang menanyakan kapan bisa kembali ke sekolah. Mereka tahu jawabannya belum tentu datang. Di luar, para ayah berjalan jauh, menggenggam map atau koran usang, mencari celah di dunia kerja yang makin sempit. Tapi lapangan kerja tak bertambah. Justru angka pengangguran meningkat dari 3,85% tahun lalu menjadi 4,12% per Februari 2025. Lebih dari separuh tenaga kerja Riau masih bertahan di sektor informal, tanpa jaminan, tanpa kejelasan.
Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) turun menjadi 64,68%. Ini bukan sekadar angka. Ini adalah cermin dari semangat yang memudar, dari keyakinan yang perlahan hilang. Ketika rakyat berhenti mencari kerja, itu artinya mereka telah kehilangan harapan akan adanya peluang.
Namun di tengah kesulitan ini, sang pemimpin tetap tampil percaya diri. Ia muncul di berbagai acara dengan senyum lebar dan jas licin. Sabuk bermerek mencolok dari pinggangnya seperti lambang keberhasilan pribadi yang berdiri kontras dengan penderitaan warganya.
Di media sosial, wajahnya bersinar dalam setiap potret. Tapi senyuman itu tak pernah menyapa rakyat, hanya memantul kembali ke cermin kekuasaan yang terus ia poles.
Rakyat yang dulu mengangkatnya dengan doa dan suara kini berjalan sendirian dalam gelap. Mereka melintasi hari demi hari yang penuh beban: harga beras yang melonjak, ongkos sekolah yang tak terjangkau, listrik yang tak selalu menyala. Sementara di istana kekuasaan, segala terasa nyaman dan rapi. Di sana, tak ada yang tahu rasanya berutang demi sepasang sepatu sekolah, atau menjual satu-satunya gelang emas demi baju sekolah anak.
Pertumbuhan ekonomi Riau tahun ini diperkirakan hanya 3,18% hingga 3,71%, melambat dari tahun sebelumnya. Konsumsi rumah tangga menurun, investasi stagnan, dan ketergantungan pada sumber daya alam terus berlanjut tanpa solusi yang serius. Sektor pertanian memang masih menjadi penopang utama, menyerap 32,37% tenaga kerja. Namun para petani hidup dalam ketidakpastian, harga hasil panen yang sering tak sepadan dengan ongkos tanam, cuaca yang tak menentu, dan akses yang terbatas terhadap teknologi dan pasar.
Dan kini, tahun ajaran baru segera dimulai. Tapi tak semua anak menyambutnya dengan semangat. Di sudut-sudut desa, tak sedikit keluarga yang terpaksa menjual barang terakhirnya untuk urusan sekolah, para ibu menggigit bibir, menyembunyikan kesedihan agar anaknya tetap bisa mengenakan seragam walau bekas. Mereka memaksakan senyum saat anak bertanya, “Bu, kita jadi sekolah, kan?”
Sementara itu, pemimpin mereka sibuk memotong pita peresmian, makan siang bersama kolega politik, dan memberi sambutan di panggung-panggung megah. Seolah panggung lebih penting dari dapur yang kosong. Seolah tepuk tangan lebih berarti dari tangis diam di balik jendela kayu.
Gubernur, kekuasaan bukan tentang berapa banyak acara yang Anda hadiri, tetapi tentang berapa banyak luka yang Anda sembuhkan. Kekuasaan bukan tentang potret yang sempurna, tetapi tentang kehadiran yang nyata. Jangan sampai nama Anda kelak hanya dikenang sebagai penguasa yang sempat datang tapi tak benar-benar hadir.
Rakyat tak meminta banyak. Mereka hanya ingin didengarkan. Karena air mata mereka bukanlah metafora. Itu adalah kenyataan yang membasahi tanah ini, tiap hari. Sunyi mereka bukanlah dramatisasi. Itu adalah suara yang tak pernah sampai ke ruang rapat dan meja anggaran.
Dan jika hari ini Anda masih belum sempat mendengarnya, ketahuilah: waktu akan mencatat semuanya. Bukan dengan tinta emas, tapi dengan ingatan-ingatan pahit tentang janji yang tak ditepati.