Wakil Gubernur Terpinggirkan, Gubernur Jalan Terus Tanpa Arah

tindaktegas.com, - Saya mengikuti dengan saksama gerak pemerintahan di Riau hari demi hari. Yang saya lihat? Parade seremoni. Potong pita. Resmikan musala. Hadir di kawinan. Membuka acara. Menerima audiensi. Semua serba simbolik. Pemerintahan seperti sibuk bersolek di depan kamera, tapi lupa berdandan di depan cermin realitas rakyat.
Saya ingin bertanya: kapan terakhir kali Gubernur benar-benar turun ke akar persoalan? Bukan datang untuk seremoni, bukan untuk baca sambutan, tapi benar-benar memimpin solusi?
Yang lebih mengkhawatirkan adalah kesan kuat bahwa Gubernur berjalan sendiri. Sementara Wakil Gubernur, SF Hariyanto, yang sebenarnya punya rekam jejak panjang dalam birokrasi, tampak nyaris tidak dilibatkan secara strategis. Ini sangat disayangkan. Padahal pengalaman beliau sebagai Sekda, birokrat senior, seharusnya jadi aset besar untuk mengurai benang kusut persoalan daerah. Tapi apa gunanya pengalaman jika tidak dimanfaatkan? Apa gunanya posisi jika tak diberi ruang peran?
Pemerintah yang sehat adalah pemerintah yang bekerja kolektif. Tapi yang kita lihat sekarang, seolah duet kepemimpinan ini hanya hidup di lembar SK pelantikan, bukan dalam praktik sehari-hari. Satu orang tampil, satu orang tenggelam. Kalau kapal dikemudikan satu orang saat badai datang, bisa karam sebelum sampai ke dermaga rakyat.
Sementara itu, persoalan kita tidak menunggu seremoni berikutnya. Mari kita lihat:
• Pendapatan Asli Daerah (PAD) Gagal Tercapai
Tahun 2024, PAD hanya terealisasi 72,1% dari target Rp6,7 triliun. Kekurangannya mencapai Rp1,8 triliun. Ini bukan hanya target yang meleset. Ini berarti ada lubang dalam anggaran daerah, dan yang dikorbankan nanti pasti rakyat.
• Predikat Wajar Dengan Pengecualian (WDP) dari BPK
Ini bukan penghargaan. Ini teguran keras. Laporan keuangan Pemprov Riau dinyatakan penuh pengecualian. Alias tidak transparan. Alias tidak akuntabel. Bahasa halus untuk ketidakberesan.
• Kelebihan Bayar Perjalanan Dinas
Bayangkan, Rp16,98 miliar kelebihan bayar hanya untuk perjalanan dinas. Uang rakyat. Dipakai untuk kenyamanan pejabat, bukan untuk pelayanan dasar. Ini bukan sekadar boros ini pengkhianatan terhadap kepercayaan publik.
• Tunda Bayar dan Defisit
Beban tunda bayar dan defisit diperkirakan tembus Rp3,5 triliun. Ini bukan lampu kuning, ini alarm merah. Jika tidak segera ditangani dengan kerja sama yang kuat antara Gubernur dan Wakilnya, banyak janji kampanye hanya akan menjadi jejak suara yang tak berbekas.
Saya tidak sedang menyalahkan. Tapi saya sedang mengingatkan: bahwa jabatan bukan panggung seremoni. Rakyat tidak butuh pemimpin yang populer di media, tapi yang konsisten di meja kerja.
Kalau Gubernur dan Wakil Gubernur bisa bekerja bersama, saya percaya persoalan-persoalan itu bisa diselesaikan. Tapi kalau ego lebih besar dari kolaborasi, maka jangan salahkan publik kalau mulai kehilangan harapan.
Pemerintahan ini masih punya waktu. Tapi jangan sampai waktu habis hanya untuk memotong pita. Potonglah masalah. Potonglah pemborosan. Potonglah jarak antara pemimpin dan penderitaan rakyat
Oleh: Sayed Abubakar Assegaf