100 Hari Dalam Kabut Kekuasaan

Pekanbaru(tindaktegas.com) - Seratus hari telah berlalu sejak Gubernur Abdul Wahid duduk di singgasananya. Waktu yang cukup bagi seorang pemimpin untuk memperlihatkan arah, atau menampakkan keberpihakan. Tapi yang rakyat lihat hanyalah upacara, pose, dan pesta wajah-wajah tim sukses yang bersulang di ruang ber-AC.
Tak ada jejak langkah di lumpur rakyat. Yang terlihat hanyalah telapak sepatu mengkilap, melangkah ringan dari ruang resepsi ke panggung seremoni. Setiap foto yang dibagikan menjauhkan ia dari wajah rakyat yang sesungguhnya , wajah yang mulai menua dalam antrean, memudar dalam harapan.
Gubernur tampaknya sibuk merawat kemenangan, bukan membalas kepercayaan. Jabatan dibagikan seperti warisan keluarga, bukan alat untuk menyeka air mata penderitaan. Negeri ini tampak seperti panggung sandiwara kecil, tempat kawan-kawan separtai saling bersulang, sementara rakyat berdiri di luar panggung, menatap kosong ke arah mimbar, bertanya: kapan pertunjukan ini selesai?
Lihatlah desa-desa yang masih gelap, sekolah-sekolah reyot yang menangis setiap kali hujan datang. Jalan-jalan yang tak lagi bisa membedakan antara aspal dan kubangan. Harga sembako mencekik, pengangguran mengular, dan anak-anak muda tersesat dalam nasib seperti layang-layang yang talinya diputuskan negara.
Dan di tengah semua itu, sang Gubernur berdiri tegak dengan bangga, bajunya dimasukkan rapi, dan ikat pinggang bermerek Hermès mencolok di pinggangnya, seolah itu lambang keberhasilan. Di saat rakyat menggulung tikar untuk sekadar bertahan hidup, pemimpinnya justru memamerkan simbol kejayaan pribadi di hadapan kamera.
Sebentar lagi tahun ajaran baru tiba. Para orang tua berjuang sendirian: meminjam uang, menjual motor, menahan lapar, semua agar anak mereka bisa tetap sekolah. Untuk selembar seragam, sepasang sepatu, dan satu buku tulis, mereka bertaruh seluruh harga diri. Namun tak ada yang mendengar. Suara mereka tenggelam di balik tepuk tangan rapat-rapat pejabat.
Ada satu hal yang lebih menyakitkan dari kemiskinan: dilupakan. Dan rakyat Riau kini tahu, bahwa mereka sedang berjalan sendiri. Dalam sunyi yang dipelihara negara. Pemimpin yang semestinya jadi jembatan, kini jadi pagar yang memisahkan.
Kami tak menuntut kesempurnaan. Kami hanya ingin pemimpin yang meletakkan telinganya di tanah mendengar detak kaki petani, napas buruh, bisikan anak-anak yang belajar dalam kelaparan. Tapi yang terdengar hari ini hanyalah deru mobil dinas dan suara kamera saat pemimpin kita berpose bukan untuk rakyat, tapi untuk dirinya sendiri.
Seratus hari telah menjadi cermin. Dan di dalamnya, yang tampak bukan rakyat yang tersenyum, tapi seorang pemimpin yang sibuk merapikan penampilannya… sementara rakyatnya sibuk merapikan sisa-sisa harapan.
Waktu masih ada, tapi tidak banyak. Dan jika dalam waktu yang tersisa sang Gubernur masih sibuk menjaga kenyamanan lingkar kekuasaan, maka biarkan catatan ini menjadi batu nisan dari sebuah kehilangan besar: kehilangan harapan.
Karena jika kekuasaan tidak ditundukkan untuk rakyat, maka rakyat akan menunduk… bukan karena hormat, tapi karena kecewa.
Oleh :Sayed Abubakar Assegaf
Pekanbaru, 30 Mei 2025